Minggu, 30 Desember 2012

Makalah Hukum Bisnis

KATA PENGANTAR

      Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugrahkan rahmat dan hidayah sehingga makalah Hukum Bisnis dapat terselesaikan. Dengan diselesaikannya makalah ini, kami berharap dapat menyumbangkan pemikiran, khusunya dalam bidang Hukum tentang Perlindungan Konsumen kepada para pembaca, sehingga apa yang mereka dapatkan bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
      Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Tuhan Yang Maha Esa
2.      Untuk kedua orang tua atas segala dukungan dan motivasinya
3.      Pak janus sidabalok, selaku dosen dari mata kuliah Hukum Bisnis
4.      Seluruh teman-teman
      Menyadari akan keterbatasan kemampuan kami, kami bersedia bersedia menerima kritik dan saran yang dapat membangun kreativitas dan motivasi dalam belajar kami.
      Akhir kata kami mengucapkan alhamdulillah dan besar harapan kami makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman yang membutuhkan.

Jakarta, 11 April 2012


 Penulis










ABSTRAK


Undang-Undang nomor 8 tahun tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada konsumen. dalam undang undang ini juga di jelaskan mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang tentunya hal ini di atur untuk memberikan kepastian hukum serta melindungi hak para konsumen tersebut.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa didalam kasus pencemaran susu formula itu termuat informasi. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur adalah salah satu hak dari konsumen. Namun sayangnya, masalah pencemaran bakteri pada susu formula kurang mendapat perhatian dari pelaku usaha maupun lembaga-lembaga tinggi, padahal pencemaran bakteri pada susu formula memegang peran penting dalam upaya perlindungan konsumen.
Ketiadaan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai pencemaran bakteri pada susu formula bisa menyesatkan konsumen dan tentunya berakibat hukum pada pelaku usaha untuk bertanggung jawab. Untuk itu menarik untuk dikaji apakah pencemaran bakteri pada susu formula sebagaimana diatur dalam ... telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen dan apakah akibat hukum demi informasi tidak benar, jelas dan jujur.













BAB I
PENDAHULUAN


1.1.            Latar Belakang
Pada tahun 1999 telah lahir Undang-Undang perlindungan konsumen, yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada konsumen. dalam undang undang ini juga di jelaskan mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang tentunya hal ini di atur untuk memberikan kepastian hukum serta melindungi hak para konsumen tersebut. Hal demikian memang perlu di atur karena untuk menghindari sikap negatif pelaku usaha terhadap konsumen.
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan dianak tirikan oleh para produsen atau pelaku usaha tersebut.Undang undang tentang perlindungan konsumen ini memang telah di terbitkan namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari undang undang itu sendiri belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam undang undang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang tentunya berkaitan dengan tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen. contohnya adalah, susu bakteri yang kini banyak beredar di susu formula untuk anak-anak pada dasarnya sangat berbahaya yang akhirnya bisa menyebabkan keracunan.
Bakteri ini sejatinya bisa dijumpai di mana-mana. Pada lingkungan, makanan, juga dalam usus manusia normal dan beberapa hewan. Bakteri ini memiliki banyak strain. Ada yang berbahaya, ada juga yang tidak. Yang paling rentan terkena bakteri ini adalah, Bayi yang berumur kurang dari 28 hari. Bayi  yang lahir dengan berat badan rendah, lahir prematur, dan  mungkin dengan risiko lain.
Jika terinfeksi, bayi bisa menderita diare, itu jika bakteri mengenai saluran pencernaan. Bakteri ini bisa menyusup dalam empat tahapan pembuatan susu. Dari bahan mentah, proses pasteurisasi, saat kaleng dibuka, dan proses penyiapan. Entah karena botol dan sebagainya mungkin tercemar.
Peristiwa peristiwa seperti itu tentunya sangat merugikan konsumen, maka seharusnya pelaku usaha bertanggung jawab dengan kejadian tersebut sebagai implementasi dari undang undang nomor 8 tahun 1999. Untuk memperjelas masalah akan tanggung jawab pelaku usaha maka makalah ini akan membahas mengenai masalah tanggung jawab pelaku usaha tersebut.

1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan Latar Belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana perlindungan terhadap konsumen dan apa saja yang hak dan kewajiban konsumen serta asas-asas perlindungan konsumen ?
2.      Apa saja yang mencakup mengenai Pencemaran Bakteri pada Susu Formula ?
3.      Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha menurut Undang-undang tentang perlindungan konsumen dan apakah sudah terlaksana dengan baik atau belum ?
4.      Apa  tanggapan dari lembaga-lembaga tinggi terhadap kasus ini ?

1.3.  Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
a.       Untuk mengetahui Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha pada kasus Klausula Baku Perlindungan Konsumen Susu yang tercemar oleh bakteri;
b.      Untuk mengetahui apakah tanggung jawab pelaku usaha ;
c.      Untuk mengetahui kasus mengenai perlindungan konsumen dan analisis hukumnya.



1.4.  Metode Pembahasan
Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode literatur kaji pustaka terhadap buku-buku yang berhubungan dengan tema makalah yang kami buat dan juga bersumber dari beberapa artikel dari internet.




























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


Perkembangan perekonomian yang oesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap lainnya. Dengan “di verivikasi” produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, dimana terjadi perluasan ruang gerak atau transaksi barang dan atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang dan atau yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik dimana konsumen berkediaman maupun yang berasal dari luar negeri.
Perkembangan hukum konsumen di dunia bermula dari adanya gerakan perlindungan konsumen (consument movement). Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen. Secara historis perlindungan konsumen diawali dengan adanya gerakan-gerakan konsumen diawal abad 19.













BAB III
GAMBARAN PEUSAHAAN / METODE YANG DIGUNAKAN

3.1.  Langkah-langkah Penelitian
Langkah-langkah penelitian dan pengembangan sebagai berikut :
1.         Potensi dan Masalah
Penelitian dapat berangakat dari adanya potensi atau masalah. Potensi adalah segala sesuatu yang bila didayagunakan akan memiliki nilai tambah. Sebagai contoh, di pantai selatan Pulau Jawa, terdapat potensi angin dan sinar matahari, kedua potensi tersebut dapat dikembangkan menjadi energi mekanik yang dapat digunakan untuk menggerakan sesuatu, misalnya untuk generator pembangkit tenaga listrik, atau untuk turbin air. Data tentang potensi dan masalah tidak harus dicari sendiri, tetapi bisa berdasarkan laporan penelitian orang lain, atau dokumentasi laporan kegiatan dari perorangan atau instansi tertentu yang masih up to date.
2.         Mengumpulkan Informasi
Setelah potensi dan masalah dapat ditunjukkan secara faktual dan up to date, maka selanjutnya perlu dikumpulkan berbagai informasi yang dapat digunakan sebagai bahan untuk perencanaan produk tertentu yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut. Disini dibutuhkan metode penelitian tersendiri. Metode apa yang akan digunakan untuk penelitian tergantung permasalahan dan ketelitian tujuan yang ingin dicapai.

Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode literatur kaji pustaka terhadap buku-buku yang berhubungan dengan tema makalah yang kami buat dan juga bersumber dari beberapa artikel dari internet.





BAB IV
PEMBAHASAN

4.1.    Pengertian konsumen
Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan dari pengertian tersebut, yang dimaksud konsumen orang yang berststus sebagai pemakai barang dan jasa.

Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
·           Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
·           Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
·           Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
·           Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
·           Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
·           Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
·           Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut :
·           Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
·           Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
·           Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
·            Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
·           Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
·            Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.

Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen  disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen.Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari ”benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasayang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsum Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat kentungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsume ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
·           Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang;
·           Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
·           Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
·           Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
·           Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
·           Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
·           Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
·           Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri
·           Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
·           Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
·           Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
·           Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
4.4.1    Asas perlindungan konsumen .
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.
·           Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
·           Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
·           Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual. d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen.
·           Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
·           Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.



4.4.2.   Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut :
·           Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
·           mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
·           Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
·           Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
·           Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
·           Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.


4.5.1.   Hak-Hak Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.

Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
·           Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
·           Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
·           Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
·           Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
·           Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
·           Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
·           Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
·           Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·           Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.



4.5.2.   Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
           Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
           Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
           Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
           Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

4.6.       Bakteri Enterobacter Sakazakii
Enterobacter sakazakii merupakan bakteri gram negatif anaerob fakultatif, berbentuk koliform (kokoid), dan tidak membentuk spora. Bakteri ini termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Sampai tahun 1980 Enterobacter sakazakii dikenal dengan nama Enterobacter cloacae berpigmen kuning.
Pada tahun 1980, bakteri ini dikukuhkan dalam genus Enterobacter sebagai suatu spesies baru yang diberi nama Enterobacter sakazakii untuk menghargai seorang bakteriolog Jepang bernama Riichi Sakazakii. Reklasifikasi ini dilakukan berdasarkan studi DNA hibridisasi yang menunjukkan kemiripan 41% dengan Citrobacter freundii dan 51% dengan Enterobacter cloacae.
Enterobacter sakazakii bukan merupakan mikroorganisme normal pada saluran pencernaan hewan dan manusia, sehingga disinyalir bahwa tanah, air, sayuran, tikus dan lalat merupakan sumber infeksi.
Enterobacter sakazakii dapat ditemukan di beberapa lingkungan industri makanan (pabrik susu, coklat, kentang, sereal, dan pasta), lingkungan berair, sedimen tanah yang lembab. Dalam beberapa bahan makanan yang potensi terkontaminasi Enterobacter sakazakii antara lain keju, sosis, daging cincang awetan, sayuran, dan susu bubuk.
Enterobacter sakazakii pertama kali ditemukan pada  1958 pada 78 kasus bayi dengan infeksi meningitis.  Sejauh ini juga dilaporkan beberapa kasus yang serupa pada beberapa negara. Meskipun bakteri ini dapat menginfeksi pada segala usia, risiko terbesar terkena adalah usia bayi. Peningkatan kasus yang besar dilaporkan terjadi di bagian Neonatal Intensive Care Units (NICUs) beberapa rumah sakit di Inggris, Belanda, Amerika, dan Kanada.
Di Amerika Serikat angka kejadian infeksi Enterobacter sakazakii yang pernah dilaporkan adalah 1 per 100.000 bayi. Terjadi peningkatan angka kejadian  menjadi 9,4 per 100.000 pada bayi dengan berat lahir sangat rendah (< 1.5 kg) . Sebenarnya temuan peneliti IPB tersebut mungkin tidak terlalu mengejutkan karena dalam sebuah penelitian prevalensi  kontaminasi di sebuah negara juga didapatkan dari 141 susu bubuk formula didapatkan 20 kultur positif  Enterobacter sakazakii.
Enterobacter sakazakii adalah suatu kuman jenis gram negatif dari keluarga enterobacteriaceae. Organisme ini dikenal sebagai yellow pigmented Enterobacter cloacae.  Pada 1980, bakteri ini diperkenalkan sebagai bakteri jenis yang baru berdasarkan pada perbedaan analisis hibridasi DNA, reaksi biokimia dan uji kepekaan terhadap antibiotika. Disebutkan,  dengan hibridasi DNA menunjukkan Enterobacter sakazakii 53-54% dikaitkan dengan 2 spesies yang berbeda genus, yaitu Enterobacter dan Citrobacter.
Hingga saat ini tidak banyak diketahui tentang virulensi  dan daya patogeniotas bakteri berbahaya ini. Bahan enterotoxin diproduksi oleh beberapa jenis strain kuman. Dengan menggunakan kultur jaringan, diketahui efek enterotoksin dan beberapa strain tersebut. Didapatkan 2 jenis strain bakteri yang berpotensi sebagai penyebab kematian, sedangkan beberapa strain lainnya non patogenik atau tidak berbahaya. Hal inilah yang mungkin menjelaskan kenapa sudah ditemukan demikian banyak susu terkontaminasi, tetapi belum banyak dilaporkan terjadi korban terinfeksi bakteri tersebut.

4.7.       Proses Pencemaran dan Antisipasi Bakteri
Proses pencemaran terjadinya kontaminasi bakteri dapat dimulai ketika susu diperah dari puting sapi. Lubang puting susu memiliki diameter kecil yang memungkinkan bakteri tumbuh di sekitarnya. Bakteri ini ikut terbawa dengan susu ketika diperah. Meskipun demikian, aplikasi teknologi dapat mengurangi tingkat pencemaran pada tahap ini dengan penggunaan mesin pemerah susu (milking machine), sehingga susu yang keluar dari puting tidak mengalami kontak dengan udara.
Pencemaran susu oleh mikroorganisme lebih lanjut dapat terjadi selama pemerahan (milking), penanganan (handling), penyimpanan (storage), dan aktivitas pra-pengolahan (preprocessing) lainnya. Mata rantai produksi susu memerlukan proses yang steril dari hulu hingga hilir, sehingga bakteri tidak mendapat kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dalam susu.
Peralatan pemerahan yang tidak steril dan tempat penyimpanan yang tidak bersih dapat menyebabkan tercemarnya susu oleh bakteri.  Susu memerlukan penyimpanan dalam temperatur rendah agar tidak terjadi kontaminasi bakteri. Udara yang terdapat dalam lingkungan di sekitar tempat pengolahan merupakan media yang dapat membawa bakteri untuk mencemari susu.
Proses pengolahan susu sangat dianjurkan untuk dilakukan di dalam ruangan tertutup. Manusia yang berada dalam proses pemerahan dan pengolahan susu dapat menjadi penyebab timbulnya bakteri dalam susu. Tangan dan anggota tubuh lainnya harus steril ketika memerah dan mengolah susu. Bahkan, hembusan napas manusia ketika proses pemerahan dan pengolahan susu dapat menjadi sumber timbulnya bakteri.
Sapi perah dan peternak yang berada dalam sebuah peternakan harus dalam kondisi sehat dan bersih agar tidak mencemari susu. Proses produksi susu di tingkat peternakan memerlukan penerapan good farming practice seperti yang telah diterapkan di negara-negara maju. Antisipasi dari berbagai penelitian dan pengalaman di beberapa Negara tersebut sebenarnya WHO (World Health Organization), USFDA (United States Food and Drug Administration) dan beberapa negara maju lainnya telah menetapkan bahwa susu bubuk formula bayi bukanlah produk komersial yang steril.
Sedangkan susu formula cair yang siap saji, dianggap sebagai produk komersial steril karena dengan proses pemanasan yang cukup. Sehingga di bagian perawatan bayi NICU, USFDA menggunakan perubahan rekomendasi dengan pemberian susu bayi formula cair siap saji untuk penderita bayi prematur yang rentan terjadi infeksi.
Sayangnya di Indonesia produk susu tersebut belum banyak dan relatif mahal harganya. Rekomendasi lain yang harus diperhatikan untuk mengurangi resiko infeksi tersebut adalah cara penyajian yang baik dan benar.
Di antaranya adalah menyajikan hanya dalam jumlah sedikit atau secukupnya untuk setip kali minum untuk mengurangi kuantitas dan waktu susu formula terkontaminasi dengan udara kamar. Meminimalkan hang time atau waktu antara kontak susu dengan udara kamar hingga saat pemberian.
Waktu yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 4 jam. Semakin lama waktu tersebut akan meningkatkan resiko pertumbuhan mikroba dalam susu formula tersebut. Hal lain yang penting adalah memperhatikan dengan baik dan benar cara penyajian susu formula bagi bayi, sesuai instruksi dalam kaleng atau petunjuk umum.
Peningkatan pengetahuan orangtua, perawat bayi dan praktisi klinis lainnya tentang prosedur persiapan dan pemberian susu formula yang baik dan benar harus terus dilakukan. Terlepas benar tidaknya akurasi temuan tersebut sebaiknya pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan harus bertindak cepat dan tepat sebelum terjadi kegelisahan dan korban yang memakan jiwa.
Sedangkan orangtua tetap waspada dan tidak perlu khawatir berlebihan ternyata temuan tersebut juga pernah dilaporkan oleh USFDA tetapi tidak terjadi kasus luar biasa Karena mungkin sebagian besar adalah kuman non-patogen atau yang tidak berbahaya. Tetapi apapun juga, jangan sampai terjadi banyak anak Indonesia terkorbankan hanya karena keterlambatan mengantisipasi keadaan.

4.8.            Awal Mula Munculnya Kasus Susu Berbakteri
Sri Estuningsih (Estu) awalnya berburu bakteri dalam susu formula untuk penelitian doktoral saat menempuh pendidikan bidang Mikrobiologi dan Patologi di Justus Liebig Universitat, Gieben, Jerman. Penelitian yang awalnya mencari penyebab diare pada bayi, dengan fokus pada Salmonella, Shigella dan E. Coli sebagai bakteri penyebab diare, justru menemukan Enterobacter Sakazakii. Enam tahun setelah penelitian dilaksanakan, Estu justru menghadapi tuntutan hukum. Adalah David Tobing, Pengacara Publik yang berturut-turut memenangkan tuntutan di level Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Isi tuntutan tersebut adalah agar Institut Pertanian Bogor (IPB), Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Bpom) mengumumkan merek susu yang terpapar Enterobacter Sakazakii sesuai penelitian Estu yang dilaksanakan mulai tahun 2003 itu. Pasalnya, penelitian yang mulai dilakukan pada 2003 itu bukanlah penelitian survaillance, artinya peneliti tidak mendaftar seluruh merek susu yang beredar di pasaran, melainkan semata mencari bakteri yang terdapat pada susu.
Apabila merek susu diungkap, hal itu tentunya tidak adil dan diskriminatif karena sampel tidak mewakili seluruh jenis susu dan makanan bayi yang beredar dipasaran. Padahal Enterobacter Sakazakii adalah jenis bakteri yang dapat dijumpai di mana-mana, termasuk dalam usus manusia yang tidak sakit.
Penelitian yang awalnya dilakukan di Jerman tersebut sebenarnya menyoroti cemaran Salmonella, Shigella dan E. Coli berkaitan dengan diare pada bayi. Bukannya menemukan ketiga bakteri tersebut, Estu justru menemukan cemaran Enterobacter Sakazakii sebanyak 13,5%, atau ditemukan dalam 10 dari 74 sampel. Pada 2004 bakteri itu masih ditemukan dalam 3 sampel dari 46 sampel yang diteliti. Penelitian yang sama pada 2006 justru menemukan kecenderungan yang lebih tinggi Enterobacter Sakazakii ditemukan dalam 22,73% sampel susu formula dan 40% sampel makanan bayi.
Dari hasil karakterisasi bahaya yang dilakukan dalam penelitian pada 2006, ditemukan bahwa Enterobacter Sakazakii dapat menyebabkan enteritis, sepsis dan meningitis. Karena dianggap berbahaya, pada 2006 hasil penelitian tersebut dilaporkan ke BPOM. Penemuan itu menjadi pertimbangan bagi IPB untuk mengajukan ke BPOM agar Indonesia mengikuti aturan Codex Alimentarius Commission untuk membatasi kadar cemaran Enterobacter Sakazakii dalam susu formula, makanan bayi, serta barang konsumsi lain.
Selain itu pada saat itu pihak IPB berharap agar BPOM dapat melakukan penelitian yang lebih memadai, misalnya dengan metode survaillance agar dapat menyertakan keseluruhan merek susu formula dan makanan bayi yang beredar di pasaran.
Pada tahun 2009 BPOM mengadopsi Codex yang mengatur cemaran Enterobacter Sakazakii. BPOM juga melakukan survaillance terhadap seluruh merek susu dan makanan bayi yang beredar di pasaran. Survaillance terus berlanjut hingga saat ini, tetapi BPOM sudah tidak menemukan satu pun merek susu yang mengandung cemaran Enterobacter Sakazakii, pasca adopsi Codex itu.
BPOM adalah lembaga pengawas. Oleh karena itu Codex harus diadaptasi kemudian BPOM melakukan pengawasan terhadap susu yang beredar di pasaran mulai 2009.
Berdasarkan fungsi pengawasan itulah BPOM mengumumkan hasil penelitiannya terhadap berbagai susu yang ada di pasaran. Sejak 2009 hingga kini BPOM telah meneliti 117 jenis susu di pasaran Indonesia yang kesemuanya aman dari Enterobacter Sakazakii. Harry Suhardiyanto, Rektor IPB mengatakan untuk mengumumkan jenis susu yang aman dan tidak aman demi memenuhi kepentingan publik merupakan kewenangan BPOM, apalagi BPOM telah melakukan penelitian paling baru dari segi waktu serta mencakup seluruh jenis susu formula dan makanan bayi yang ada.
Apabila IPB terpaksa mengumumkan merek susu dengan cemaran Enterobacter Sakazakii berdasar hasil penelitian Estu, hal tersebut akan menyalahi prinsip keadilan dalam penelitian karena sampel yang digunakan belum mencakup seluruh sampel yang beredar di pasaran. Padahal sampel yang tidak diteliti belum tentu terbebas dari cemaran. Hal ini tentu tidak adil dan mendiskriminasi pihak tertentu karena tidak seluruh sampel yang ada diteliti.
Sementara itu,  kewajiban mempublikasikan isi penelitian sudah dilakukan IPB dan Estu melalui berbagai Jurnal Internasional. Hasil penelitian tersebut juga telah dipaparkan dalam pertemuan internasional tentang Enterobacter Sakazakii yang diselenggarakan oleh WHO dan FAO di Roma, Italia pada 2006.
Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengungkapkan pihaknya tidak dapat memaksa IPB untuk mengumumkan merek susu karena IPB adalah lembaga independen yang tidak memiliki kewajiban melaporkan hasil penelitiannya.
Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional juga menghargai sikap IPB untuk tidak menyebutkan merek susu yang menjadi sampel penelitian karena telah diatur dalam kode etik internasional bahwa merek produk yang menjadi objek penelitian tidak disebutkan.
Selain itu dia juga menyatakan kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan pada penyelenggara pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dilindungi oleh hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 UU No 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional.

4.9.            Daftar Merk Susu yang Bebas Bakteri Sakazakii
Daftar merek susu hasil riset BPOM yang bebas bakteri sakazakii :
Tahun 2009
  1. Frisian Flag Tahap I (MD.810409118005, exp Oktober 2010)
  2. Susu Lactona 1 (MD.810412070003, exp Mei 2010)
  3.  Lactogen 1 (ML.810411051018, exp Januari 2010)
  4. Lactogen 1 (MD 810413370001, exp Juni 2010)
  5. Susu Lactogen 1 (MD.819413370001, exp Mei 2010)
  6. SGM Tahap 1 (MD.810412270001, exp Januari 2011)
  7. dll
Tahun 2010
  1. Anmum Infacare (ML.510406002076, exp Desember 2011)
  2. Frissian Flag 1 (MD.810409118005, exp Juli 2011)
  3. Frissian Flag Tahap 2 (MD.810309117005, exp Desember 2011)
  4. Frissian Flag 123 Madu (MD.807009128005, exp Agustus 2011)
  5. Frissian Flag Tahap 1 (MD.810409118005, exp Februari 2012)
  6. Frissian Flag Tahap 2 (MD.810309117005, exp Maret 2012)
  7. dll
Tahun 2011 (sampai Februari)
  1. Bimbi Lola Rendah Laktose (MD 810413009417)
  2. Neosure (ML 510415007019)
  3. Enfamil A+ (ML 810411066019)
  4. Pre NAN (ML 510202002079)
  5. NAN 1 (ML 510402003079)
  6. Morinaga BMT (MD 810410019989)
  7. dll
4.10.        Pencegahan Timbulnya Bakteri pada Susu
Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih menegaskan, bakteri Entero­bacter Sakazakii (ES) dalam susu formula bayi sebetulnya tidak semuanya berisiko bagi kese­hatan tubuh.
Masyarakat tidak perlu resah, karena sebetulnya tidak semua orang memiliki risiko dari ter­papar bakteri Enterobacter sakazakii. Menkes memastikan, bakteri Enterobacter sakazakii bakal mati sendirinya jika bubuk susu dicampur air panas bersuhu minimal 70 derajat cel­sius. Selain itu, bakteri Enterobacter sakazakii juga tidak bakal membahayakan bagi setiap bayi. Apalagi, pada anak-anak dan orang dewasa. Bakteri Enterobacter sakazakii, menurut Menkes, hanya bisa berdampak fatal pada bayi yang lahir prematur dan bayi di bawah usia 28 bulan ke bawah dengan berat badan rendah.
Hingga kini, kata Menkes be­lum ada penelitian khusus ber­kaitan dengan sejumlah kasus diare, demam tinggi, atau radang otak pada bayi yang terkorelasi dengan kon­sumsi susu tercemar. Sekretaris Jenderal Kemenkes Ratna Rosita Hendardji juga menyatakan, Kemenkes atau BPOM tidak memiliki relevansi secara ilmiah  meng­umum­kan merek susu terkontaminasi hasil penelitian IPB.  Pasalnya, temuan susu ter­cemar bakteri Enterobacter sakazakii yang dila­kukan peneliti IPB, Sri Estu­ningsih, terjadi pada rentang wak­tu yang cukup jauh yaitu se­pan­jang tahun 2003-2006.
Dari berbagai penelitian dan pengalaman di beberapa negara tersebut sebenarnya Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), United States Food and Drug Administration (USFDA)  dan beberapa negara maju lainnya telah menetapkan bahwa susu bubuk formula bayi bukanlah produk komersial yang steril.
Adapun susu formula cair yang siap saji dianggap sebagai produk komersial steril karena dengan proses pemanasan yang cukup.  Dengan demikian, di bagian perawatan bayi NICU, USFDA menggunakan perubahan rekomendasi dengan pemberian susu bayi formula cair siap saji untuk penderita bayi prematur yang rentan terjadi infeksi. Sayangnya di Indonesia, produk susu tersebut belum banyak dan relatif mahal harganya.
Rekomendasi lain yang harus diperhatikan untuk mengurangi risiko infeksi tersebut adalah cara penyajian yang baik dan benar. Di antaranya adalah menyajikan hanya dalam jumlah sedikit atau secukupnya untuk setiap kali minum untuk mengurangi kuantitas dan waktu susu formula terkontaminasi dengan udara kamar. Meminimalkan hang time atau waktu antara kontak susu dan udara kamar hingga saat pemberian. Waktu yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 4 jam. Semakin lama waktu tersebut meningktkan risiko pertumbuhan mikroba dalam susu formula tersebut.
Hal lain yang penting adalah memerhatikan dengan baik dan benar cara penyajian susu formula bagi bayi, sesuai instruksi dalam kaleng atau petunjuk umum. Peningkatan pengetahuan orangtua, perawat bayi, dan praktisi klinis lainnya tentang prosedur persiapan dan  pemberian susu formula yang baik dan benar harus terus dilakukan.
Terlepas benar-tidaknya akurasi temuan tersebut, sebaiknya pemerintah dalam hal ini departemen kesehatan harus bertindak cepat dan tepat sebelum terjadi kegelisahan dan korban yang memakan jiwa. Sedangkan orangtua tetap waspada dan tidak perlu kawatir berlebihan ternyata temuan tersebut juga pernah dilaporkan oleh USFDA, tetapi tidak terjadi kasus luar biasa.
Hal ini karena mungkin sebagian besar adalah kuman non pathogen atau yang tidak berbahaya. Tetapi apa pun juga, jangan sampai terjadi banyak anak Indonesia terkorbankan hanya karena keterlambatan mengantisipasi keadaan.

4.11.        Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen di atur khusus mulai dari pasal 19 sampai dengan pasal 28. Dari sepuluh pasal tersebut, dapat kita pilah sebagai berikut :
a.         Tujuh pasal, yaitu pasal 19, pasal 20, pasal 21, pasal 24, pasal 25, pasal 26, dan pasal 27 yang mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha.
b.        Dua pasal, yaitu pasal 22 dan pasal 28 yang mengatur pembuktian.
c.         Satu pasal, yaitu pasal 23 yang mengatur penyelesaian sengketa dalam hal pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen.

4.12.        Tanggapan Mentri Kesehatan
Penolakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengumumkan merek susu formula yang mengandung bakteri Entrobacter Sakazakii, berbuntut panjang. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sahabat Muslim, melaporkan persoalan ini ke Bareskrim Mabes Polri. Terlapornya adalah, Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Kustantinah, dan Rektor Institut Pertanian Bogor, Herry Suhardiyanto.
Sesuai dengan keterangan pers, laporan bernomor : LP/77/II/2011/ Bareskrim berdasarkan Pasal 52 Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Sesuai dengan UU itu, badan publik yang dengan sengaja tidak mengumumkan informasi publik, yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak terancam pidana berupa penjara satu tahun atau denda Rp 5.000.000.
Ketua LSM Sahabat Muslim, Muhammad HS, meminta polisi bergerak dengan cepat dalam menangani kasus yang mendapat perhatian luas dari masyarakat tersebut. Agar tidak menimbulkan keresehan masyarakat yang meluas, khususnya pada kalangan orangtua.
Selain itu, dia melanjutkan dengan kewenangan untuk kepentingan penyidikan, polisi juga harus menyita dokumen hasil penelitian yang dilakukan IPB dan mengambil alih kewajiban mengumumkan produk susu yang tercemar, sesuai perintah UU Keterbukaan Informasi Publik.
Selain itu, polisi diminta mengungkap motif penundaan pengumuman produk susu formula yang tercemar bakteri kepada publik. Polisi juga dapat mengembangkan kasus ini, terkait beredarnya produk makanan yang merusak kesehatan dan dengan sengaja tidak ditarik dari peredaran. Guna mengantisipasi kemungkinan adanya masyarakat yang mengalami kondisi gangguan kesehatan yang diduga bersumber dari mengkonsumsi susu formula tercemar bakteri,  LSM Sahabat Muslim membuka posko pengaduan masyarakat korban susu formula tercemar bakteri, di kawasan Jalan Harapan Indah, Cipinang Melayu, Jakarta Timur.
Menurut Menteri Kesehatan, IPB sebagai universitas independen tidak wajib melaporkan hasil penelitiannya kepada Kementerian Kesehatan. IPB juga telah menolak mengumumkan dengan alasan belum menerima surat keputusan Mahkamah Agung secara resmi. Menkes menambahkan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan penelitian berkala yang menjamin produk susu formula di pasaran bebas bakteri tersebut dan aman konsumsi.
Ditanyai kembali mengenai persoalan ini, Menteri Kesehatan, di sela-sela peringatan Hari Kanker di FX, Jakarta,  hanya berpendapat yang penting sekarang kalau bayi usia 0-6 bulan dikasih ASI, kalau nggak bisa memberi ASI, pake susu formula tidak masalah. Asalkan airnya direbus matang.





BAB V PENUTUP

KESIMPULAN
SARAN




















 

DAFTAR PUSTAKA
Kasus Susu Berbakteri
April 05, 2011
Ø